SEO BLOG & TEMPLATES

Politik



Migastator :
Tata Kelola Migas Nasional Kacau Balau
Menyimpang Konstitusi Dan Rugikan Negara”

Kurtubi Anggota Komisi VII DPR/Fraksi Partai Nasdem Dapil NTB
Jatuhnya rating perminyakan dan gas bumi (migas) nasional dimata dunia turun sangat dratis, dan rendah produksinya, sehingga berdampak buruk terhadap perekonomian bangsa, dikarenakan sistem tata kelola migas nasional ini ruwet, semrawut, kacau balau, dan amburadul dalam bahasa Sasak Lombok disebut oragade.

Imbasnya, adalah ke semua sektor perekonomian Indonesia turut kena dampaknya, bermunculah kerugian negara yang tidak bisa dibendung. Oleh karena migas merupakan salah urat nadi perekonomian bangsa sangat vital bagi kelangsungan hidup bagi bangsa dan negara sebagaimana dijamin didalam Undang-Undang Dasar 1945.

Namun dalam persoalan migas ini, masalah utamanya yang muncul adalah berbagai keruwetan, simpang siur, dan kekacauan, bahkan telah terjadi kemunduran yang sangat tajam disebabkan sistem tata kelola migas nasional saat ini sudah menyimpang dari konstitusi dan merugikan Negara.

Terjadinya penyimpangan yang meneyebabkan kerugian negara, tidak lain, adalah karena menggunakan payung hukum namanya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang MIGAS, dimana pemerintah yang mengelola. Padahal, pemerintah itu bukan perusahaan, pemerintah tidak bisa berbisnis, dan menjual migas, sementara migas yang merupakan milik negara mau tidak mau terpaksa harus menunjuk pihak ketiga untuk melakukannya.

Menyimpang konstitusi dan rugikan Negara Pernyataan ini disampaikan Kurtubi Anggota Komisi VII DPR/Fraksi Partai Nasdem Dapil NTB kepada Untung Sugianto dari Majalah Fokus di selah rehat Rapat Dengar Pendapat dengan Kementerian ESDM menanggapi semrawutnya sistem tata kelola migas nasional yang semakin memburuk yang berdampak perekonomian bangsa ke sektor-sektor lainnya. Bukan berarti sistem tata kelola migas ini tidak bisa diperbaiki, asalkan pemerintah melalui kementerian (ESDM) dan instansi terkait seperti BP Migas bersikap arif dan bijak tapi tegas dalam pengawasan tata kelola migas yang baik, dan benar itu seperti apa pemerintah mestinya tahu.

Dia contohkan, “Pemerintah tidak bisa membangun pabrik LNG, sehingga dia harus menunjuk kontraktornya untuk membangun LNG, ini karena Undang- Undang Migas,” jelas Kurtubi prihatin. Kata dia, “Demikian juga dengan produksi minyak kita juga anjlok, dan mundur karena dengan tata kelola, dimana pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan lalu pemerintah lewat BP Migas berkontrak dengan perusahaan asing tidak berjalan proses investasi migas, sistem menjadi kacau balau ijin berbelit-belit membutuhkan waktu panjang, ” ujar Kurtubi menyesalkan sistem seperti itu.

Lanjutnya, “ Kemudian, kegiatan eksplorasi menjadi anjlok luar biasa karena sistem yang kacau balau dalam proses pengeboran atau eksplorasi misalnya, dan berbelit-belit sangat panjang, sehingga tidak sedikit kontraktor atau perusahaan asing mundur, yang rugi pemerintah juga,” paparnya.

“Dengan undang-undang migas ini, investor itu kalau mau ngebor di daerah butuh ijin sampai 400 ijin, karena BP Migas yang berpatner, dan berkontrak bukanlah pemegang kuasa pertambangan, justru pemerintah, menterinya yang memegang kuasa pertambangannya, sehingga legal standing BP Migas itu sangat lemah, ” jelas Kurtubi yang juga pengamat perminyakan dan gas Indonesia.

Menurut dia, “Dia (BP Migas) bukan perusahaan, dan migas merupakan bagian dari negara yang berasal dari kontraktor yang harus dijual melalui pihak ketiga , dan lapangan gas yang besar seperti di Marseilla tidak bisa dia bangun pabrik LNG nya yang ditunjuk kontraktornya INPEX, dan paying hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 sebagai pembanding, dimana pertamina pada pada saat itu selaku pemegang kuasa pertambangan, dan punya kekuasaan atas cadangan minyak dan gas yang ada di perut bumi kini tidak lagi,” tandas Kurtubi yang juga Ketua DPW Partai Nasdem Nusa Tenggara Barat (NTB).

“Karena pertamina selaku pemegang kuasa pertambangan, dan punya kekuasaan atas cadangan migas cukup besar, maka bank-bank internasional mempercayainya untuk membangun pabrik LNG di Bontang Kalimantan Timur (Kaltim) maupun Gas Arun tidak terlalu sulit, meskipun kedua pabrik itu ditemukan oleh perusahaan asing yang sangat besar, namun Pertamina dengan gampang membangun pabrik LNG disana, selain jaminan pendanaan diperoleh dari bank-bank internasional bukan berasal dari APBN, ternyata sukses,” imbuhnya.

“Ini juga dipakai dalam membangun pabrik LNG Badak, meskipun LNG Badak di Indonesia bagian timur ditemukan dan juga dioperasikan oleh perusahaan minyak asing yang bernama HUFFCOO kemudian berpindah ke Total, tapi Negara melalui Pertamina yang membangun LNG Badak. Negara melalui Pertamina pula yang akhirnya mengoperasikan LNG Badak selama kurang lebih 40 tahun tanpa ada kecelakaan,” terang Kurtubi.

Lanjut dia,”Negara melalui Pertamina menjual LNG itu ke Jepang, artinya negara ini berdaulat disitu para kontraktornya tetap dihargai seperti yang terjadi di Badak pemerintah sangat menghargai, dulu namanya HUFFCO sekarang Total Indonesia namanya, tidak ubahnya seperti yang di Arun dan Exxon,” jelasnya.

“Kedua blok (lapangan) itu dihargai juga oleh pemerintah, sekalipun yang menemukan, membangun pabrik, dan yang menjual LNG adalah negara melalui Pertamina tetap kontraktornya dijamin oleh negara, ini baru sistem yang benar sesuai Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945,” tegasnya. Sebaliknya, kata Kurtubi, ”Sangat disayangkan sistem yang sudah bagus ini, sekarang diubah dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun m2001, dimana kuasa pertambangan yang tadinya dipegang oleh Pertamina dicabut oleh pemerintah, dan dialihkan/ diambil alih pemerintah.


“Disinilah bermunculan kerugian negara di berbagai sektor perekonomian lainnya, karena dijual sendiri oleh pemerintah dan BPH Migas lalu menjualnya lagi kepada pihak ketiga, dikarenakan tidak bisa membangun LNG, sehingga ditunjuklah pihak ketiga untuk membangun seperti yang ada di Marsela Bontang Kaltim, “ jelasnya.

“Sudah bikin kacau balau, ruwet, amburadul, menurut saya semuanya sudah merusak sistem tata kelola migas nasional kita, ini kan salah kaprah namanya, apa ini yang disebut proses melanggengkan sistem yang sudah kacau balau dipertahankan tinggal, negara macam apa ini?,” seloroh Kurtubi geleng kepala. Kembalikan jati diri Pertamina Seperti bahasa Sasak Lombok uregade namanya. Sudah ruwet, semrawut, dan kacau balau yang rugi siapa ? tidak lain tidak bukan adalah negara juga kan?” jelasnya.

Maka sesuai amanah Pasal 33 UUD 1945, bahwa yang mengelola migas adalah Negara melalui Pertamina semestinya demikian, sitemnya seharunya simpel tapi ternyata ruwet semrawut, dan kacau balau, “ tegasnya. Lebih tegas dia katakan,”Siapapun kontraktornya, sesuai amanah Pasal 33 UUD 1945 dimana migas yang ada diperut bumi ini adalah milik negera dengan cadangan gas ditemukan oleh kontraktor perusahaan asing tetap menjadi perusahaan milik negara, bukan sebagai pemegang kuasa pertambangan,” jelas Kurtubi.

Jelasnya, “Kontraktor tetap kontraktor, pemegang kekuasaan dalam kebijakan tetap berada ditangan negara atau pemerintah, sehingga jelas kedudukan antara kuasa pemegang pertambangan dengan kontraktor, ” kilah Politisi Nasdem. Maka, solusi untuk memperbaiki sistem tata kelola migas nasional yang baik dan benar itu seperti apa, masih banyak waktu, dan bisa diperbaiki saat ini Komisi VII DPR tengah berbuat guna memperbaiki tata kelola migas dengan merevisi UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas tahun ini juga (2016),” terangnya.

Pungkas dia, “Saya masih tetap optimis, bahwa semua persoalan yang berkaitan dengan sistem tata kelola migas masih bisa diperbaiki undang-undangnya, sehingga akan kita kembalikan fungsi semula dimana negara melalui Pertamina yang merupakan perusahaan milik Negara peluang itu tetap ada, yaitu bisa mengelola, mengatur, mengawasi, bahkan membangun pabrik LNG dimanapun berada saya yakin siap, “ pungkas Migastator Indonesia, Kurtubi.@ untung sugianto/f-01


Tidak ada komentar:

Posting Komentar