Mimpi,
Hakim Memvonis Rehabilitasi
04 FEBRUARI 2019, 15: 01: 30 WIB | EDITOR
: ADI NUGROHO
Mimpi saya ketika jadi
direktur advokasi BNN adalah ingin menyaksikan penyalah guna dalam proses
peradilan tidak ditahan. Tapi direhabilitasi sebagai proses penyembuhan. Dan,
hakim tidak memvonis hukuman penjara tapi dengan vonis menjalani rehabilitasi.
Mimpi saya tersebut muncul setelah menelaah UU nomor 35 tahun 2009
tentang narkotika yang bersumber dari konvensi internasional. Yang sistemnya
berbeda dengan yang berlaku di Indonesia. Undang-undang narkotika tersebut
mencamtumkan tujuan penanganan penyalah guna dan pecandu secara eksplisit.
Yaitu menjamin penyalah guna dan pecandu direhabilitasi (pasal 4d).
Dalam bayangan mimpi saya, penyalah guna itu orang sakit. Wajar
dapat jaminan sembuh dari UU dan dihukum menjalani hukuman rehabilitasi. Itu
sangat rasional karena hakim diberi kewenangan oleh UU Narkotika untuk
menghukum rehabilitasi dan mengambil tindakan untuk memerintahkan terdakwa yang
nota bene sakit adiksi untuk menjalani rehabilitasi. Agar pulih seperti
sediakala sesuai maksud dibuatnya UU Narkotika (pasal 103).
Seandainya mimpi saya terwujud pasti Indonesia tidak seperti
sekarang. Di mana kondisi lapas over capacity. Ditandai banyak masalah seperti
menggunakan narkotika di penjara, lapas jadi sasaran peredaran narkotika, dan
masalah tindak pidana lainnya akibat penyalah guna dipenjara.
Akibat lain yang juga terjadi akibat penyalah guna dipenjara
adalah penyalah guna berkarier menjadi pecandu. Lama-kelamaan jumlah pecandu
meningkat. Akibat logisnya bisnis narkotika ramai seperti yang kita rasakan
saat ini. Dengan kondisi seperti ini kebutuhan akan narkotika menjadi tinggi.
Dan bandar narkotika banyak yang mengincar Indonesia sebagai sasaran bisnis
mereka. Akhirnya Indonesia jadi pasar narkotika.
Kalau sudah menjadi pasar, tempat penyalah guna dan pengedar
bertransaksi, maka menjadi sulit untuk diurai secara represif saja. Harus
diimbang secara rehabilitatif agar pasar gelap narkotika menjadi terurai.
Kalau mereka para penyalah guna didekati secara humanis, disembuhkan melalui
rehabilitasi, mereka bisa menjadi wistle blower.
Mimpi saya sesungguhnya logikanya simple saja. Karena UU Narkotika
mencantumkan ketentuan bahwa tujuannya dibuatnya UU adalah menjamin penyalah
guna direhabilitasi. Penyalah guna itu orang sakit adiksi. Secara rasional
wajar kalau dihukum rehabilitasi meskipun penyalah guna diancam hukuman
penjara.
Oleh karena itu yuridis penyalah guna ya direhab. Bukan dipenjara.
Apalagi ada ketentuan dalam UU Narkotika yang menyatakan hukuman rehabilitasi
itu derajadnya sama dengan hukuman penjara. Mestinya pilihannya hanya hukuman
rehabilitasi karena tujuan UU Narkotika menjamin penyalah guna dan pecandu
direhabilitasi.
Mimpi saya ini menjadi tidak sekadar mimpi. Karena hakim juga
diberi kewenangan memvonis dengan hukuman menjalani rehabilitasi bila
terdakwanya terbukti bersalah. Dan mengambil tindakan memerintahkan menjalani
rehabilitasi bila terdakwa terbukti tidak bersalah. Gamblangnya terbukti
bersalah atau tidak terbukti bersalah, penyalah guna itu ya dihukum
rehabilitasi oleh hakim.
Kalau mimpi saya terwujud maka Indonesia bisa dengan mudah
mencapai cita-citanya. Yaitu terbebas dari adanya penyalah guna narkotika.
Apalagi penyalahgunaan dilarang dan penyalah gunanya diancam dengan hukuman
penjara, menurut saya ancaman hukuman penjara bisa jadi effek detern dan dapat
menjadi semangat mewujudkan Indonesia lebih cepat menuju negara yang bebas dari
penyalah guna narkotika, bebas dari orang sakit adiksi, sakit kambuhan.
Sayang mimpi saya untuk menyembuhkan para penyalah guna melalui
rehabilitasi tidak terwujud sesuai tujuan dibuatnya undang undang. Karena
terhalang implementasi penegakan hukum yang menabrak ketentuan UU Narkotika.
Ketentuan yang ditabrak adalah penanganan penyalah guna yang
tujuannya dijamin rehabilitasi baik dalam proses penyidikan, penuntutan maupun
peradilan serta tidak memenuhi sarat ditahan tapi nyatanya ditahan dengan
di-yunto-kan dengan pasal pengedar. Penyalah guna juga dijamin UU
narkotika mendapat vonis rehabilitasi nyatanya divonis penjara. Ini yang
menyebabkan penyalah guna tidak sembuh dan pulih seperti sediakala, ini juga
menyebabkan Indonesia negara darurat narkotika.
Secara psikologis penyalah guna ditahan dan divonis penjara
berdampak pada ketakutan masarakat pada upaya pemerintah melalui program wajib
rehabilitasi penyembuhan sakit adiksi narkotika (pasal 128) yang jadi tanggung
jawab Negara. Dan rehabilitasi penyembuhan secara sukarela yang menjadi
tanggung jawab orang tua. Padahal menurut UU Narkotika landaskan pendekatan
hukum dan pendekatan kesehatan. Rehabilitasi itu adalah cara pertama dan utama
dalam penanganan narkotika dan penegakan hukum mendukungnya. Bukan
sebaliknya pemberantasan yang utama dan rehabilitasi pendukungnya.
Kenapa begitu, karena masalah narkotika dalam sejarahnya adalah
masalah bisnis peredaran gelap. Kalau demand-nya tidak disembuhkan maka
supply-nya akan tumbuh subur. Bisnis narkotika akan marak. Kalau demand-nya
disembuhkan maka supply-nya pasti kedodoran dan lama kelamaan bisnis narkotika
pasti gulung tikar.
Ketika saya menjadi Kapolda mimpi saya ini berubah menjadi mimpi
sedih. Karena saya sebagai penanggung jawab langsung penanganan narkotika
wilayah Polda. Sebagai atasan penyidik narkotika, saya bangga anak buah
menangkap pelaku kejahatan narkotika. Baik penyalah guna maupun pengedar. Tapi
mayoritas yang ditangkap bukan pengedar melainkan penyalah guna.
Melihat penyalah guna ditahan hati saya menangis. Karena saya tahu
secara hukum mereka harusnya ditempatkan di lembaga rehabilitasi selama proses
penyidikan penuntutan dan peradilan. Kalau ditahan dapat dipastikan penyalah
guna dihukum penjara. Tapi apa daya petunjuk yang ada memang begitu.
Ketika saya jadi Kepala BNN sekaligus sebagai penanggung jawab
P4GN (Pencegahan dan Pembeantasan penyalah gunaan dan peredaran Gelap
Narkotika), saya melanjutkan mimpi saya. Untuk merehabilitasi para penyalah
guna narkotika baik rehabilitasi bersumber keputusan hakim , rehabilitasi
bersumber wajib lapor, dan rehabilitasi secara sukarela atas inisiatif orang
tua.
Pada waktu itu mulai merintis rehabilitasi melalui wajib lapor
penyalah guna dalam keadaan ketergantungan narkotika, menggalakan sosialisasi
program wajib lapor melalui Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) karena telah
ada Peranturan Pemerintah no 25 tahun 2011 .
Implementasi program wajib lapor ditandai dengan perintah Presiden
untuk tahun pertama merehabilitasi 100 ribu penyalah guna narkotika sebagai
program perintis. Selanjutnya secara bertahab ditingkatkan tahun kedua menjadi
200 ribu. Tahun ketiga 300 ribu. Dan tahun keempat dan selanjutnya pertahun 400
ribu yang direhabilitasi. Ketika itu jumlah penyalah guna berdasarkan
penelitian sebesar 4 juta orang des 10 tahun berikutnya penyalah guna sembuh
semua. Kalau penyalah guna sembuh semua otomatis pengedar narkotika
bangkrut karena tidak ada pembeli
Demikian pula rehabilitasi sukarela. Saya mendorong para orang tua
tidak perlu takut untuk menyembuhkan keluarganya yang menjadi penyalah guna.
Karena pelaku penyalahgunaan narkotika ada unsur pemaafnya yaitu apabila
berobat ke rumah sakit dengan biaya sendiri. Atau melapor ke IPWL. Maka
dimaafkan oleh UU Narkotika dengan status tidak dituntut pidana. Demikian pula
kalau dalam perawatan juga tidak dituntut pidana (pasal 128)
Terhadap rehabilitasi yang bersumber penegakan hukum mimpi saya
terkendala. Saya sebagai Ka BNN selaku penanggung jawab program P4GN kesulitan
membangun penegakan hukum bersifat rehabilitative. Karena penegak hukum baik
dari penyidik dan penuntut umum berpendapat lain. Dan tetap melaksanakan
penegakan hukum bersifat represif. Penyalah guna ditahan selama proses
penyidikan dan penuntutan sehingga hakim ketika menjatuhkan sanksi
terbelenggu dengan upaya paksa yang telah dilakukan oleh penyidik dan jaksa
penuntut. Akhirnya hakim menggunakan kewenangan berdasarkan KUHAP mengabaikan
kewajibannya memvonis hukuman menjalani rehabilitasi sesuai pasal 103 UU Narkotika.
(Konsultasi masalah narkotika melalui WA no 08111285858).
(rk/die/die/JPR)
Tips bagi Keluarga Bersih Narkotika
Keluarga adalah benteng negara. Kalau keluarga Indonesia banyak menyalahgunakan narkotika maka negara dapat mengalami bencana akibat narkotika. Bencana yang jadi momok bagi kita karena jumlah penyalah guna dan pengedarnya sudah sangat besar.
Berdasarkan penelitian terbaru BNN jumlah penyalah guna 5,8 juta orang. Mereka dipasok oleh pengedar yang jumlahnya sebanding dengan jumlah penyalah guna. Karena itu, masyarakat harus dapat menghindar dan mengantisipasinya. Masyarakat perlu tahu tips untuk itu.
Sebelum itu, saya jelaskan dulu siapa pelaku penyalahgunaan dan pelaku peredaran gelap narkotika. Dalam kontruksi viktimologi, penyalah guna itu korban kejahatan narkotika. Sedangkan pengedar itu pelaku kejahatan narkotika. Dalam teori bisnis, penyalahguna itu demand-nya bisnis narkotika sedangkan pengedar itu supplier-nya. Dalam teori kesehatan penyalah guna itu orang sakit kecanduan narkotika. Pengedar itu orang yang menambah parah sakit kecanduannya.
Menurut konvensi internasional (UU No 8 tahun 1976) penyalahgunaan narkotika itu dilarang diancam dengan hukuman penjara. Tetapi apabila telah dilakukan pelakunya yaitu penyalah guna diberikan alternatif penghukuman berupa rehabilitasi.
Berdasarkan UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika, yang bersumber UU No 8 tahun 1976, penyalah guna dinyatakan sebagai pelaku kejahatan (127/1). Namun pelaku kejahatan tersebut dijamin UU untuk direhabilitasi (pasal 4). Penyalah guna tidak memenuhi syarat ditahan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan ( pasal 21 KUHAP). Dalam menangani perkara penyalah guna hakim wajib memperhatikan ketentuan tentang rehabilitasi (127/2). Hakim wajib membuktikan penyalah guna itu sebagai korban penyalahgunaan atau pecandu (127/3). Hakim diberi kewenangan untuk menghukum rehabilitasi yang bersifat wajib (pasal 103). Hukuman penjara statusnya sama dengan hukuman rehabilitasi.
Penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melanggar hukum (pasal 1 angka 15). Penyalah guna adalah pelanggar hukum. Sedangkan (bedakan) pengguna narkotika dengan resep dokter adalah bukan perbuatan melanggar hukum karena narkotika itu obat. Menggunakan narkotika tanpa resep dokter berbahaya karena dapat menyebabkan penggunanya menderita sakit kecanduan narkotika.
UU narkotika membagi penyalah guna menjadi 3 (tiga) berdasarkan proses pentahapan penyalahgunaannya yaitu :
Tahap pertama, tahap penyalah guna pemula. Yaitu orang yang tidak sengaja menyalahgunakan narkotika karena dibujuk, ditipu, dirayu, diperdaya, atau dipaksa menggunakan narkotika. Pada tahap ini penyalah guna disebut korban penyalahgunaan narkotika (pasal 54).
Tahap kedua, tahap menjadi penyalah guna dengan sadar karena sudah tidak perlu ditipu, dibujuk, dirayu, diperdaya, atau dipaksa menggunakan narkotika. Pada tahap ini mereka sudah atas kemauan sendiri menyalahgunakan narkotika. Karena sudah mengidap kecanduan narkotika. Mereka merasa narkotika itu obat yang dapat menghilangkan rasa sakit yang dideritanya.
Tahap ketiga, tahap menjadi pecandu. Yaitu penyalah guna narkotika dalam keadaan ketergantungan. Mereka menjadi penyalah guna narkotika karena tuntutan kebutuhan fisik maupun psikis. Kalau tidak dipenuhi berdampak buruk terhadap kondisi fisik dan psikis dengan gejala beringas, perilakunya tidak terkendali, bahkan ada yang berhalusinasi.
Penyalah guna narkotika menurut UUN adalah orang sakit yang menjadi kewajiban orang tua untuk menyembuhkan, sekaligus sebagai pelaku tindak pidana diancam dengan hukuman penjara. Oleh karena itu kejahatan penyalahgunaan narkotika
digolongkan sebagai domestic crime. Artinya kejahatan penyalahgunaan narkotika lebih utama menjadi tanggung jawab orang tua atau keluarga dari pada ditangani penegak penegak hukum.
Itu sebabnya UUN mewajibkan orang tua untuk menyembuhkan keluarganya yang menjadi penyalah guna narkotika. Apabila orang tua membiarkan atau tidak melaporkan anaknya ke rumah sakit yang ditunjuk guna mendapatkan layanan rehabilitasi agar sembuh, orang tua penyalah guna justru diancam dengan hukuman kurungan selama 3 bulan.
Sebaliknya, orang tua yang melaksanakan kewajiban melaporkan anaknya yang menjadi penyalah guna untuk dirawat maka status penyalah gunanya yang semula diancam pidana maksimal 4 tahun di maafkan oleh UU menjadi tidak dituntut pidana.
Penyalah guna itu didiskripsikan sebagai kejahatan kepemilikan narkotika. Di mana kepemilikannya bisa bersumber dari membeli atau pemberian pihak lain. Kalau tujuan kepemilikannya untuk digunakan sendiri digolongkan sebagai penyalah guna. Sedangkan kalau untuk mencari keuntungan digolongkan sebagai pengedar.
Indikator perbedaan penyalah guna dan pengedar sudah dijelaskan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Bila ketika ditangkap oleh penyidik, tersangka kedapatan membawa barang bukti kurang dari 1 gram untuk sabu, kurang dari 5 gram untuk ganja, kurang dari 8 butir untuk jenis ekstasi maka tersangka tersebut tergolong penyalah guna. Bila ketika ditangkap jumlah barang buktinya melebihi dari jumlah di atas tergolong pengedar.
Tips agar keluarga bebas (bersih) dari penyalah gunaan narkotika:
Tips pencegahan
1. Jangan mengonsumsi obat secara sembarangan. Ikuti petunjuk dokter. Obat jenis narkotika dapat menyebabkan sakit adiksi kecanduan narkotika.
2. Pahami bahwa narkotika itu obat yang penggunaannya hanya atas petunjuk dokter, tanpa resep dokter adalah kejahatan.
3. Bekali keluarga pengetahuan hidup sehat, hindari merokok, minum minuman keras, tidak mengonsumsi obat berbahaya.
4. Lindungi keluarga dari salah pergaulan. Jangan sampai anggota keluarganya tertipu, terbujuk, terpedaya rayuan teman, yang mengajak untuk menggunakan narkotika jenis apapun dengan alasan apapun.
5. Hindari tempat dan acara yang sering digunakan untuk pesta narkotika. Karena dengan mudah dapat memperdaya maupun memaksa seseorang menggunakan narkotika.
6. Ketahuilah bahwa penyalah guna narkotika adalah orang sakit adiksi ketergantungan narkotika yang hanya dapat pulih dengan cara direhabilitasi.
Tips menghadapi penyalah guna
1. Jangan nervous, pahami bahwa anak yang kedapatan menjadi penyalah guna itu sebagai orang sakit. Maka tindakan paling utama adalah mengambil langkah untuk menyembuhkan melalui rehabilitasi.
2. Ketahui bahwa penyalah guna narkotika itu orang sakit kecanduan narkotika yang sifatnya kronis artinya penyalah guna akan terus mengulangi mengkonsumsi narkotika secara periodik untuk menjaga agar tubuhnya tidak terasa sakit.
3. Orang tua bertanggung jawab rehabilitasi penyembuhannya kalau ada anaknya yang menjadi penyalah guna agar sembuh.
4. Ambil langkah untuk menghubungi dokter ahli jiwa atau psikolog agar mendapatkan informasi bagaimana proses penyembuhan.
5. Secara yuridis orang tua wajib melaporkan ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yaitu rumah sakit yang ditunjuk Menteri Kesehatan yang tersebar diseluruh kota/kabupaten di seluruh indonesia untuk mendapatkan perawatan/rehabilitasi agar sembuh/pulih.
6. Setelah selesai menjalani rehabilitasi tetap harus dilakukan pendampingan ke mana mereka pergi agar tidak terjerumus lagi karena sifat penyakit adiksi narkotika rentan kambuh menggunakan narkotika lagi (relap).
7. Pastikan bahwa penyalah guna tidak kambuh lagi, baru dinyatakan sembuh dan tidak memerlukan pendampingan lagi. (*)
Konsultasi dapat dilakukan melalui WA nomor: 08111285858
(rk/baz/die/JPR)
Artis Narkoba dan Andi Arif
Memasuki
awal 2019 banyak artis dan pesohor yang bermasalah dengan narkotika. Sebut saja
Andi Arif, Sandy Tumiwa, vokalis band zivilia, Zul dan finalis Indonesian Idol.
Mereka ditangkap baik sebagai penyalah guna maupun pengedar. Menunjukkan
maraknya bisnis obat jenis narkoba di Indonesia.
Berdasarkan UU Narkotika, artis, pesohor,
atau siapa saja yang berperan sebagai penjual atau pengedar diancam hukuman
penjara "berat". Sedangkan kalau berperan sebagai pembeli untuk diri
sendiri atau penyalah guna diancam hukuman penjara "ringan".
Penghukumannya tidak penjara, diganti dengan rehabilitasi. Status hukuman
rehabilitasi sama dengan hukuman penjara (pasal 103/2). Ini kekhususan UU
narkotika.
Kewenangan khusus memberi hukuman rehabilitasi
diberikan kepada hakim berdasarkan pasal 103 ayat 1 UU no 35 / 2009. Sementara
kewenangan khusus "menempatkan" tersangka penyalah guna ke
lembaga rehabilitasi juga diberikan kepada penyidik, penuntut, dan hakim
berdasarkan pasal 13 PP no 25 / 2011.
Contoh menarik adalah kasus terbaru,
tertangkapnya Andi Arif. Saat tertangkap di salah satu hotel di Jakarta,
hasilnya positif menggunakan narkotika. Ada bukti alat untuk mengonsumsi, yaitu
bong. Sedangkan bukti narkotikanya sudah habis digunakan. Setelah diasesmen
hasilnya positif sebagai penyalah guna berulang. Sehingga perkara Andi Arif
adalah perkara sempurna sebagai penyalah guna untuk diri sendiri. Seperti
tercantum dalam pasal 127 ayat 1 UUN.
Dalam penanganan kasus seperti itu, yang
jumlah narkotikanya sedikit, kurang dari 1 gram untuk sabu, bahkanhabis
terpakai seperti kasus Andi Arif, tersangka tidak memenuhi syarat ditahan.
Sebalinya, UU menjamin pemberian layanan rehabilitasi. Agar semubh dari
ketergantungan narkotika. Sebagai gantinya diberikan upaya paksa berupa
penempatan ke lembaga rehabilitasi. Sebagai bentuk hukuman.
Berdasarkan pasal 13 PP 25 tahun 2011 maka
penyidikan dan penuntutan kasus seperti Andi Arif, artis, atau masyarakat
lainnya, penyidik berkewajiban menempatkan tersangka ke lembaga rehabilitasi
(bukan atas permohonan keluarga tersangka). Yaitu rumah sakit atau tempat
rehabilitasi yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan sesuai tingkat
pemeriksaannya. Karena itu penempatan Andi Arif ke RS ketergantungan obat oleh
penyidik adalah amanat UUN. Demikian pula proses penuntutannya ditempatkan di
lembaga rehabilitasi dan penjatuhan hukumannya berupa hukuman rehabilitasi.
Banyaknya kasus narkotika di kalangan
artis, pesohor, masyarakat, umumnya karena kurang mendapatkan sosialisasi hukum
narkotika. Sehingga cara berpikir masyarakat hukum, pengemban fungsi
rehabilitasi, dan penegakan hukumnya menjadi berbeda dengan politik hukum
negara yang tercantum dalam UUN. Akibatnya penegakan hukum terhadap
penyalah guna menjadi model bagi penanganan masalah yang menakutkan. Dan kontra
produktif dengan program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran gelap Narkotika. Penanganan artis, pesohor, dan penyalah guna
narkotika lainnya selama ini hanya pada sisi hukum dengan sanksi pemenjaraan.
Mengabaikan sisi kesehatan para penyalah gunanya. Akibatnya penyalah guna
berkarir sebagai penyalah guna berulang yang disebut pecandu.
Kenapa penegak hukum khususnya hakim
memilih menghukum penjara? Padahal berdasarkan ketentuan perundang undangan hukuman
rehabilitasi itu sama dengan hukuman penjara. Kenapa penyidik narkotika dan
jaksanya justru menahan penyalah guna untuk diri sendiri? Padahal visi
penegakan hukum terhadap penyalah guna bersifat rehabilitatif bukan represif ?
Dalam UUN artis, pesohor, atau siapa saja
pengguna narkotika tanpa petunjuk dokter tergolong penyalah guna narkotika.
Yaitu orang sakit kecanduan narkotika. Mereka wajib disembuhkan agar tidak
menjadi penyalah guna lagi. Caranya dengan rehabilitasi. Baik medis
maupun sosial.
Selama ini kita keliru atau salah kaprah
dalam menyikapi masalah obat jenis narkoba. Berdasarkan ketentuan UU mestinya
kita bersikap humanis terhadap penyalah guna. Dengan cara melindungi dan
menyelamatkan. Serta menjamin mereka dengan upaya rehabilitasi agar sembuh dari
sakit adiksi ketergantunagan narkotika. Meskipun penyalah guna itu tergolong
kriminal. Sikap keras kita hanya terhadap pengedar.
Problem solving perkara ini harus
berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan bersifat khusus. Praktiknya
menggunakan ketentuan bersifat umum. Sehingga banyak praktik penegakan
hukum yang perlu diluruskan. Misalnya arah, tujuan, dan sifat penegakan hokum.
Khususnya berkaitan dengan penahanan, penjatuhan hukuman, dan lamanya
masa menjalani hukuman serta pentingnya rehabilitasi penyalah guna narkotika.
Hal yang perlu diluruskan tersebut wajib
dipahami oleh organisasi masyarakat, khususnya masyarakat hukum, pengemban
fungsi rehabilitasi, dan penegak hukum narkotika sesuai tugas pokoknya
masing-masing. Agar penegakan hukum sesuai politik hukum yang dinyatakan dalam
UUN.
Organisasi bernaungnya artis dan pesohor
harus memahami bahwa artis maupun pesohor adalah trendsetter bagi masyarakat.
Oleh karena itu mereka memiliki kewajiban sosial "mencegah" artis dan
pesohor menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Yaitu orang yang tidak sengaja
menggunakan narkotika untuk pertama kali karena ditipu, dibujuk, diperdaya,
atau dipaksa menggunakan obat jenis narkotika untuk pertama kali. Pada
hakekatnya penyalah guna untuk pertama kali adalah orang yang tertipu atau
terperdaya. Bahkan ada yang dipaksa tapi keterusan karena merasa sebagai obat.
Itu sebabnya penyalah guna pertama kali disebut korban penyalahgunaan narkotika
(baca penjelasan pasal 54).
Mencegah artis dan pesohor menjadi penyalah
guna narkotika untuk pertama kali ini sangat penting. Karena begitu artis dan
pesohor tertipu, terbujuk, terperdaya dan berhasil dipaksa menggunakan obat
jenis narkotika maka di tubuhnya sudah mulai terjangkit penyakit adiksi
ketergantungan obat jenis narkotika. Penyalah guna untuk kedua, ketiga, dan
seterusnya tidak perlu dibujuk ataupun dipaksa. Karena secara fisik dan psikis
penyalah guna sudah mulai ketagihan atau membutuhkan narkotika.
Kalau artis, pesohor atau siapa saja sudah ketagihan
narkotika maka menjadi kewajiban sosial bagi pengurus organisasi artis dan
pesohor untuk menyembuhkannya. Yaitu melalui proses rehabilitasi dengan cara
layaknya orang sakit. Dibawa ke rumah sakit ketergantungan obat (RS KO) atau
rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan untuk mendapatkan pelayanan
rehabilitasi. Rumah sakit yang ditunjuk sudah tergelar di seluruh Indonesia.
Kalau penyalah guna dalam proses rehabilitasi kemudian relap atau kumat
menggunakan narkotika lagi berdasarkan pasal 128 UU no 35/2009 tidak dituntut
pidana.
Itulah sebabnya organisasi artis dan
pesohor serta organisasi masyarakat dituntut menjadi pionir gerakan
merehabilitasi penyalah guna narkotika. Kalau penyalah guna sembuh semua dapat
dipastikan tidak ada peredaran narkotika di Indonesia karena tidak ada
konsumennya.(*)
Konsultasi masalah narkotika
dapat melalui WA nomor 08111285858
(rk/baz/die/JPR)
Hakim
Tidak Paham Kontruksi Khusus UU Narkotika
Putra penyanyi dangdut Rhoma
Irama, Ridho Rhoma kembali mendapat benturan dalam kasus penyalahgunaan
narkotika. Dimana Mahkamah Agung kembali memperberat hukuman pedangdut Ridho
Rhoma menjadi 1 tahun 6 bulan penjara terkait kasus penyalahgunaan narkotika.
Seperti yang kita ketahui bersama, dimana Ridho Rhoma Pada 25 Maret 2017, Ridho
ditangkap polisi di sebuah hotel di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat. Dia
kedapatan menyimpan narkoba jenis sabu seberat 0,7 gram. Dan pada 19 September
2017, PN Jakbar menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 10 bulan. PN Jakbar
juga menetapkan terdakwa menjalankan rehab medis dan sosial di RSKO Cibubur
selama 6 bulan 10 hari. Kebebasan Ridho Rhoma kembali terenggut.
Mahkamah Agung (MA) kembali
menjatuhkan hukuman kepada penyanyi dangdut Ridho Rhoma menjadi 1 tahun 6
bulan. Walaupun Ridho sudah menghirup udara bebas per awal 2018. Hal inilah
menjadi pertanyaan besar, kenapa kasus ini diperberat oleh MA. Menanggapi hal
ini Komjen (P) DR. Anang Iskandar SH. MH Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional
BNN menegaskan, bahwa ini disebabkan paradigma Jaksa Kasasi dan Hakim Agung
yang menangani Rihdo Rhoma bertujuan menghukum terdakwa penyalah guna dengan
hukuman penjara, padahal paradigma hukumannya terhadap perkara penyalah guna
meskipun penyalah guna diancam dengan hukuman penjara tapi penjatuhan hukumanya
berupa hukuman rehabilitasi bersifat wajib. “Menurut saya, bukan karena lembaga
MA-nya akan tetapi Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Agung yang menangani perkara
Ridho tidak memhami kekhususan UU narkotika dimana perkara penyalah guna untuk
diri sendiri wajib dihukum rehablitasi,” kata Komjen (P) DR. Anang Iskandar SH.
MH Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) lewat pesan singkatnya
(30/4/2019).
Dijelaskan Anang, bahwa
Hakim Umum tidak memahami tujuan dibuatnya UU narkotika, buktinya, ada sekitar
50 ribu penyalah guna yang dijatuhi hukuman penjara padahal UU menyatakan
status hukuman penjara sama dengan hukuman rehabilitasi pasal 103/2. Dan
merupakan kewajiban hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi. Penjatuhan
hukunan penjara terhadap perkara penyalah guna seperti yang dialami oleh Ridho
adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan hakim dengan payung
hukum fantasi, ujar caleg PPP No 1 dapil VI Blita, Kediri, Tulungagung
Kata Dia, yang mendasari
keputusan majelis hakim agung memutus perkara Ridho masuk penjara menurut MA
karena agar disparitas terhadap putusan penyalah guna tidak jomplang. Ini
penjelasan resminya. “Menurut saya ini dasar yang dibuat buat untuk menutupi
kesalahan yang dilakukan oleh hakim yang telah memenjarakan 50 ribu Ridho lain
yang sekarang ini mendekam di dalam penjara”. Padahal, surat edaran MA jelas
menyatakan bahwa kewenangan dan kewajiban hakim untuk menempatkan terdakwa ke
dalam lembaga rehabilitasi dan menghukum rehabilitasi, pungkasnya.
“Pengalaman saya jadi
narasumber pada pelatihan hakim, saya simpulkan banyak hakim yang tidak paham
kontruksi khusus UU narkotika”. Kasus Ridho kata Anang, tingkat penyidikannya
sudah benar ditempatkan di RS ketergantungan obat meskipun ditahan dulu,
mestinya tidak melalui penahan karena kewenangan dan kewajiban penyidik untuk
menempatkan ke dalam lembaga rehablitasi. Jaksa penuntut umum benar, demikian
pula majelis hakim tingkat pertama dengan menghukum rehabilutsi juga sudah
benar karena berdasarkan UU narkotika. “Melencengnya, ketika jaksa mengajukan
kasasi meminta dihukum penjara. Dan hakim agungnya ternyata mengabulkan ini
nabrak ketentuan dalam UU narkotika mulai dari pasal tujuan pasal 4, pasal
kewenangan dan kewajiban hakim pasal 127/2 dan 103 untuk menjatuhkan hukuman
rehbilitasi dan rambu rambu yang dikeluarkan oleh MA melalui SE MA No 4/2010,
tegasnya.
Anang Iskandar mengajak
teman-teman penegak hukum membaca UU narkotika sampai lengkap agar tidak gagal
paham karena kontruksi UU narkotika “Penyalah guna diancam dengan hukuman
penjara, dengan penyidikan, penuntutan, pengadilan bersifat rehabilitatif. Dan
penjatuhan hukumanya berupa hukuman rehabilitasi yang bersifat wajib. Kalau ada
penyalah guna untuk diri sendiri yang dihukum penjara itu di pastikan
melenceng. Katanya.
Anang Iskandar berharap,
seperti mimpinya sejak menjadi kepala BNN yang belum terwujud, terhadap
penyalah guna bermasalah dengan penegak hukum agar diperlakukan sesuai dengan
ketentuan UU narkotika, tidak ditahan ketika disidik dan dituntut dengan pasal
pengedar pasal 111,112,113 dan 114 karena wewenang dan kewajiban penyidik dan
penuntut umum adalah menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi PP
25/2011 dan pasal UU No 35/2009. Hakim berwenang dan berkewajiban menghukum
rehabilitasi, tutupnya. Lian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar